Selasa, 07 Desember 2010

Menyogok Demi PNS











“Barang siapa yang menyogok dan menerima sogokan dan merugikan orang lain maka hukumnya adalah masuk neraka”.

Nukilan sebuah hadits shaheh itu terasa esensinya sangat dalam untuk kehidupan sehari-hari bagi umat Islam khususnya. Terlebih lagi jika item sogok-menyogok itu dikaitkan dengan penerimaan calon pegawai negeri sipil yang sedang berlangsung saat ini. Provinsi Jambi sejak periode Oktober-Desember tahun 2010 sedang terjadi sebuah musim, musim yang bisa membuat orang bahagia atau bersedih, musim penerimaan CPNS....

Keterbukaan informasi yang digunakan oleh setiap instansi sudah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan sehingga informasi itu menyentuh semua lapisan masyarakat. Selain itu kemajuan di bidang teknologi juga memberikan kontibusi yang signifikan bagi instansi dan masyarakat sehingga memudahkan kedua belah pihak untuk memberikan informasi dan mengakses informasi bahkan pendaftaran on-line pun dapat dilakukan.

Meskipun dokumen-dokumen fisik sebagai persyaratan tetap harus diserahkan secara konvensional, melalui pos.

Intinya proses penerimaan CPNS telah diusahakan untuk berjalan secara transparan, namun masih menyisahkan pertanyaan klasik: akankah mereka yang diterima menjadi CPNS itu bersih dari KKN?

Kapling

Proses penerimaan CPNS dibeberapa instansi masih berlangsung dan menyedot animo masyarakat yang cukup tinggi khususnya para freshers yang baru menyelesaikan studinya dibangku-bangku kuliah. Freshers adalah para lulusan baru yang sebagian besar belum berpengalaman dalam dunia kerja, sehingga begitu peluang CPNS dibuka mereka berbondong-bondong menyesaki setiap board-board pengumuman yang memuat informasi tentang formasi pegawai negeri yang diterima. Bermandikan keringat mereka berjuang untuk melengkapi segala persyaratan yang dibutuhkan.

Seiring dengan perjuangan mereka, tersebar isu-isu bahwa kursi CPNS sudah dikapling? (Jambi Ekspres 04 Desember 2010) Yang namanya isu tentulah tidak bisa dijadikan pegangan apalagi dipercaya keabsahannya.

Namun, dengan isu tersebut setidaknya sempat membuat pelamar down, merasa pesimis akan keberhasilannya lulus dalam seleksi penerimaan CPNS tersebut.

Pesimis dikarenakan mereka hanya punya kemampuan (kepintaran) saja sedangkan finansial mereka tak dapat diandalkan. Belum lagi isu-isu mengenai “harga pasaran” untuk sebuah NIP yang tersebar dikalangan peserta semakin menjauhkan mereka dari optimisme akan kelulusan pada seleksi tersebut.

Sebagian besar mereka yang pesimisi ini umumnya berasal dari keluarga menengah kebawah. Dimana dengan bisa meluluskan anak-anak mereka dari Perguruan Tinggi saja sudah menguras semua investasi bahkan warisan mereka pun telah digadaikan untuk itu. Tak terpikir untuk menyisahkan investasi atau warisan itu untuk menyogok menjadi CPNS.

Sebagian lagi ada yang bersemangat dengan adanya isu-isu tersebut mengingat orang tua mereka termasuk orang berduit. Bahkan orang tua mereka dengan sadar telah menyiapkan dana talangan untuk menyisipkan anak-anak mereka di instansi pemerintah dengan cara menyogok oknum di pemerintahan.

Namun tak sedikit dari kalangan ini pun merasa kecewa, sebab kapling yang ingin mereka bayar sudah ada orangnya. Meskipun dana talangan sudah siap, namun lahannya sudah habis sehingga pasrah menjadi tumpuan selanjutnya.

Merugikan?

Seperti kutipan hadits di atas bahwa menyogok bisa merugikan orang lain memang benar adanya. Katakanlah bila anak kita pintar luar biasa, namun tidak lulus pada ujian CPNS yang baru saja berlalu.

Umumnya kita spontan mengatakan bahwa kepintaran belaka tidaklah cukup tanpa ada rupiah yang digelontorkan untuk itu. Pandangan umum seperti ini sering terdengar ditelinga masyarakat sebagai ungkapan kekecewaan yang mendalam atas ketidakjujuran para oknum di pemerintahan yang serakah akan kekayaaan.

Pandangan miring seperti ini semakin diyakini kebenarannya begitu mengetahui bahwa calon yang lulus pada ujian seleksi CPNS itu adalah orang yang biasa-biasa saja atau tidak pernah menunjukkan prestasi belajarnya selama di bangku kuliah bahkan cenderung tersisihkan. Namun begitu merunut silsilah keluarganya barulah masyarakat maklum bahkan kagum dalam arti miring.

Dalam kasus seperti di atas memang terasa betul bahwa sogok-menyogok itu merugikan, baik bagi si peserta maupun pemerintah. Sebab instansi pemerintah itu hanya mendapat calon pegawai yang tingkat IQ-nya biasa-biasa saja, sementara calon yang istimewa tadi lepas dari rengkuhan. Bisa kita bayangkan apabila sebagian besar CPNS baru direkrut dengan pola bribery, menyogok?

Taubat?

Menarik sekali apa yang dikatakan oleh Ustadz Hernowo bagi mereka yang sudah terlanjur melakukan sogok-menyogok untuk menjadi PNS agar segera bertaubat.

“Mereka yang sudah melakukannya ditahun sebelumnya, segeralah bertaubat dengan benar, dengan cara menyesalinya dan melakukan perbuatan-perbuatan baik,” ungkapnya (Jambi Ekspres, 04/12/2010).

Menurut hemat Penulis, justifikasi yang dilakukan oleh Ustadz Hernowo ini akan dijadikan pijakan oleh para penyogok dan penerima sogokan untuk tetap melakukannya pada masa-masa yang akan datang.

Toh, nanti setelah mereka menjadi PNS 100% barulah mereka bertaubat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik, sehingga penghasilan mereka kelak akan dianggap halal dan mereka menafkahi keluarganya dengan uang yang halal? Meskipun diawali dengan tindakan yang tidak halal. Menyogok.

Namun, yang terpenting saat ini kita lakukan adalah cegahlah sogok-menyogok mulai dari diri sendiri dan keluarga kita, sebab mengajak orang berbuat baik itu dari dulunya dulu memang sulit. Hukuman denda, penyitaan, penjara hingga hukuman mati pun tak mampu menggetarkan para koruptor untuk menghentikan prilakunya, ia terus berevolusi dan berganti generasi sama persis dengan sogok-menyogok di negeri ini. Insyaflah! (Suyadi, JE)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bisnis Dahsyat tanpa modal
Kontak jodoh
Mobil bekas

Entri Populer